Berikut ini
pembahasan ringkas masalah i'tikaf, dari matan kitab Umdatul Fiqh yang ditulis
oleh Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah (541 H – 620 H /
1147 M – 1223 M).
Terjemahan
matan ini (font dicetak tebal) disertai penjelasan ringkas yang diambil dari
syarh umdah al fiqh oleh Syaikh Abdullah Al Jibrin hafidzahullahu.
Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim
باب
الاعتكاف
وهو لزوم المسجد لطاعة الله تعالى فيه وهو سنة إلا أن يكون نذرا فيلزم الوفاء به.
ويصح من المرأة في كل مسجد غير مسجد بيتها ولا يصح من الرجل إلا في مسجد تقام فيه الجماعة واعتكافه في مسجد تقام فيه الجمعة أفضل.
وهو لزوم المسجد لطاعة الله تعالى فيه وهو سنة إلا أن يكون نذرا فيلزم الوفاء به.
ويصح من المرأة في كل مسجد غير مسجد بيتها ولا يصح من الرجل إلا في مسجد تقام فيه الجماعة واعتكافه في مسجد تقام فيه الجمعة أفضل.
BAB I'TIKAF
I'tikaf adalah menetap
di dalam masjid untuk mengerjakan amal ketaatan kepada Allah.
Hukumnya adalah sunnah, kecuali jika i'tikaf itu
merupakan nadzar, maka wajib untuk dipenuhi.
Tidak ada penjelasan
detail dalam hadits mengenai batasan minimal waktu i'tikaf. Mayoritas ulama
menyebutkan bahwa batas minimalnya adalah sesaat saja, walaupun kurang dari
satu malam. Oleh karena itu berapapun jangka waktu seseorang niat berdiam diri
di masjid untuk beri'tikaf, sah hukumnya. (Syarh
Umdah al-Fiqh, Syaikh
Abdullah Al Jibrin)
Di antara dalil
anjuran i'tikaf adalah firman Allah subhanahu wata'ala :
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“....Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang
yang thawaf, yang i'tikaf , yang ruku' dan yang sujud.”(Al Baqarah ayat 125)
I'tikaf sangat
dianjurkan terutama di sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadan sebagaimana
dicontohkan Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam.
TEMPAT BERI'TIKAF
ويصح من المرأة في كل مسجد غير مسجد بيتها
ولا يصح من الرجل إلا في مسجد تقام فيه الجماعة واعتكافه في مسجد تقام فيه الجمعة
أفضل.
Wanita sah hukumnya beri'tikaf di masjid manapun selain masjid
(tempat sholat) di dalam rumahnya.
Adapun kaum lelaki tidak sah beri'tikaf di sembarang tempat
kecuali harus di masjid yang didalamnya ditegakkan sholat berjamaah. Lebih
utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk sholat jum'at.
Maksud masjid
rumahnya adalah ruangan khusus di dalam rumah yang dipakai untuk sholat. Dengan
demikian tempat wanita i'tikaf adalah semua jenis masjid meskipun tidak rutin
ditegakkan sholat berjamaah di situ, yang penting bukan dirumahnya.
Adapun kaum
lelaki harus melakukannya di masjid yang ditegakkan sholat berjamaah, supaya
dia tidak perlu keluar untuk sholat berjamaah di tempat lain.
Demikian pula
lebih utama dikerjakan di masjid yang ditegakkan sholat jumat, agar dia tidak
perlu keluar untuk sholat jumat di tempat lain.
ومن نذر الاعتكاف أو الصلاة في مسجد فله فعل
ذلك في غيره إلا المساجد الثلاثة
Barangsiapa yang bernadzar untuk beri'tikaf atau sholat di suatu
masjid, maka ia boleh melaksanakan nadzarnya di masjid yang lain.
Namun berbeda halnya jika nadzarnya diniatkan di salah satu dari
tiga masjid (Masjidil haram, masjid Nabawi, masjid Al Aqsha).
Karena 3 masjid itu
adalah masjid paling utama di muka bumi. Sehingga tidak bisa diganti dengan
masjid lain yang keutamaannya dibawah tiga masjid tersebut. Adapun urutannya
adalah:
a) Masjidil Haram
b) Masjid Nabawi
c) Masjid Al Aqsha
Adapun masjid yang
lain, maka keutamaannya secara umum adalah setara, sehingga jika seseorang
meniatkan nadzar i'tikaf di Masjid A, maka ia boleh menunaikannya di Masjid B.
فإن نذر ذلك في المسجد الحرام لزمه وإن نذر
الاعتكاف في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم جاز له أن يعتكف في المسجد الحرام
وإن نذر أن يعتكف في المسجد الأقصى فله فعله في أيهما أحب.
1) Apabila bernadzar i'tikaf di Masjidil Haram maka ia harus
memenuhi nadzarnya di Masjidil Haram tersebut.
2) Apabila bernadzar i'tikaf di Masjid Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam (Masjid Nabawi), maka ia boleh memenuhi nadzarnya di Masjidil
Haram.
3) Apabila bernadzar i'tikaf di Masjid Al Aqsha, maka ia boleh
memenuhinya di salah satu dari Masjidil Haram atau Masjid Nabawi sesuai dengan
yang ia sukai.
Contoh jika fulan niat
bernadzar di Masjid Nabawi, berarti dia bisa menunaikan di dua tempat, yaitu
masjid Nabawi atau Masjidil Haram yang lebih utama dibanding Masjid Nabawi.
Jika fulan bernadzar
i'tikaf di masjid Al Aqsha maka selain bisa ditunaikan di masjid Al Aqsha ia
bisa menunaikan di dua masjid yang lebih utama, yaitu Masjidil haram dan masjid
Nabawi.
ADAB I'TIKAF
ويستحب للمعتكف الاشتغال بفعل القرب
1. Dianjurkan bagi orang yang beri'tikaf untuk menyibukkan diri
dengan amal ketaatan
Seperti menyibukkan
diri untuk tilawah Al Quran, sholat sunnah, dzikir dan semisalnya.
واجتناب ما لا يعنيه من قول وفعل ولا يبطل
الاعتكاف بشيء من ذلك.
2. Menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, baik berupa
ucapan maupun perbuatan. Walaupun demikian i'tikafnya tidak batal karena
perbuatannya tersebut.
Seperti ngobrol
perkara duniawi dengan temannya, bermain hp dan semisalnya. Kecuali ngobrol
sedikit tentang hal hal yang baik, selama tidak mengganggu orang di
sekelilingnya. (Syarh Umdah Al Ahkam,
Syaikh Abdullah Al Jibrin)
PERKARA YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN SAAT I'TIKAF
ولا يخرج من المسجد إلا لما لا بد له منه
إلا أن يشترط
1. Saat i'tikaf tidak diperkenankan ia keluar dari masjid kecuali
untuk hal-hal yang tidak bisa dihindari, kecuali telah disyaratkan sebelumnya.
Contoh perkara yang
tidak bisa dihindari seperti buang hajat atau makan di rumahnya jika memang
tidak ada yang mengantarkan makanannya ke masjid. Adapun keluar tanpa ada
kebutuhan maka hal ini membatalkan i'tikaf. Ibunda Aisyah radliyallahu 'anha
mengatakan:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا اعْتَكَفَ لَا يَدْخُلُ
الْبَيْتَ إلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam apabila i'tikaf, beliau tidak masuk rumah kecuali karena
kebutuhan manusia”.(Muttafaqun
'alaihi)
Maksud dari “kecuali
telah disyaratkan sebelumnya” adalah ia mensyaratkan untuk dirinya akan keluar
saat i'tikaf untuk beberapa keperluan tertentu, seperti menuntut ilmu di tempat
lain, bermalam di rumahnya, atau bekerja di pagi hari. Jika demikian maka tidak
mengapa dan i'tikafnya sah, menurut pendapat yang dipegang Ibnu Qudamah.
Wallahu a'lam (Syarh Umdah Al Ahkam,
Syaikh Abdullah Al Jibrin)
Selain itu juga
diperbolehkan pula keluar untuk suatu urusan yang mendadak, seperti untuk
menyaksikan dan mengantarkan jenazah, atau menjenguk orang sakit. Rasulullah
pun pernah mengantar istri beliau Shofiyyah kembali ke rumah, padahal beliau
sedang beri'tikaf.
ولا يباشر امرأة .
2. Seseorang yang beri'tikaf pun tidak diperkenankan menggauli
istrinya.
Ini perkara
yang telah disepakati ulama, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata'ala
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“...Dan jangan campuri mereka (para istri) sedang kamu beri'tikaf
di dalam masjid....”
(Al Baqarah :
187)
وإن سأل عن المريض في طريقه أو عن غيره ولم
يعرج إليه جاز.
3. Jika ia bertanya tentang orang yang sakit, saat diperjalanannya
(keluar menunaikan kebutuhan) atau tentang hal yang lain maka hal itu
diperbolehkan selama tidak duduk berlama-lama dan berbicara panjang lebar.
Hal ini
berdasarkan riwayat dari Ibunda Aisyah rodliyallahu 'anha,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَمُرُّ بِالْمَرِيضِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ ، فَيَمُرُّ كَمَا هُوَ ، فَلَا
يُعَرِّجُ يَسْأَلُ عَنْهُ
“Nabi
shollallahu 'alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang sakit, sementara
saat itu beliau sedang kondisi i'tikaf, maka beliau lewat begitu saja tanpa
duduk berlama-lama untuk bertanya tentangnya”. (HR. Abu
Dawud)
Sebagian ulama
berpendapat bolehnya menjenguk orang sakit, karena para sahabat radliyallahu
'anhum melakukannya dan memperbolehkannya.
Maka menggabung
dua pendapat di atas, boleh menjenguk orang sakit namun seyogyanya tidak duduk
berlama-lama dan segera kembali ke tempat i'tikafnya.
Imam Ahmad bin
Hanbal berkata:
يَشْهَدُ الْجِنَازَةَ ، وَيَعُودُ
الْمَرِيضَ ، وَلَا يَجْلِسُ ، وَيَقْضِي الْحَاجَةَ ، وَيَعُودُ إلَى
مُعْتَكَفِهِ
“Ia
boleh menyaksikan jenazah, menjenguk orang sakit namun jangan duduk, menunaikan
hajatnya lalu kembali ke tempat i'tikafnya.”
(Al Mughniy)
Demikian
penjelasan ringkas masalah i'tikaf dari kitab Umdatul Fiqh.
Washollallahu 'ala nabiyyinaa muhammadin wa'alaa aalihi wa sohbihi
wasallam. Walhamdulillahirabbil 'alamiin.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar