SHOLAT GERHANA

admin 6:05 AM
Sholat Gerhana disebut juga sholat kusuf atau khusuf adalah sholat yang dilakukan saat terjadi gerhana matahari atau bulan.
Kusuf dan Khusuf memiliki makna yang berdekatan. Makna kusuf (كسوف ) menurut Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Hadyu As Saari adalah hilangnya sebagian cahaya matahari atau bulan, sedangkan khusuf  (خسوف) adalah hilangnya seluruh cahaya matahari atau bulan. (Syarh Umdatul Fiqh)
Adapun sebagian ulama yang lain mengatakan kusuf digunakan untuk menyebut gerhana matahari, dan khusuf untuk gerhana bulan.  
Namun dalam riwayat-riwayat hadits, kusuf juga digunakan untuk gerhana bulan, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian penggunaan istilah kusuf dan khusuf untuk gerhana matahari atau bulan sama-sama dibenarkan.
Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, gerhana terjadi saat meninggalnya putra beliau yang bernama Ibrahim.  Ibrahim merupakan putra beliau dengan Mariah Al-qibtiyah.
Imam Al Bukhori meriwayatkan dari Al Mughiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu:

كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتْ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ
“Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah terjadi gerhana matahari, yaitu di hari meninggalnya putera beliau, Ibrahim. Orang-orang lalu berkata, "Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim!" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka shalat dan berdoalah kalian kepada Allah."
 
Syaikh Al Mubarakfuriy mengatakan: “Ahli sejarah dan Ahli Falak sepakat bahwa peristiwa gerhana matahari yang terjadi pada saat meninggalnya Ibrahim jatuh pada tanggal 28 atau 29 Syawal  tahun kesepuluh sejak peristiwa hijrah, bertepatan tanggal 27 Januari 632 M pukul 08.30 pagi.” (Taudhihul Ahkam)
 
HUKUM SHOLAT GERHANA
1.    Wajib
Sebagian ulama menyatakan hukumnya wajib, sebagaimana dipegang ulama dari kalangan Hanafiyah. Mereka beralasan dengan dzahir perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ
“Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan banyaklah berdoa hingga selesai gerhana yang terjadi pada kalian."
(Riwayat Al Bukhari)
 
As Shon’aniy berkata : “Perintah di sini adalah dalil wajibnya sholat kusuf, kecuali bahwasanya jumhur ulama membawa maksud perintah beliau ini kepada sunnah muakkadah”
 
2.    Sunnah Muakkadah
Adapun jumhur (Mayoritas) Ulama menyatakan bahwa hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (sangat ditekankan untuk dilaksanakan). Dalilnya adalah hadist-hadits yang menyatakan bahwa sholat yang wajib bagi kaum muslimin adalah sholat lima waktu sehari semalam.
 
WAKTU PELAKSANAAN
Sholat gerhana dilaksanakan pada waktu mana saja saat terjadi gerhana, dimulai sejak terjadi  gerhana hingga bulan atau matahari kembali bersinar seperti semula.
Apabila ditengah-tengah sholat ternyata gerhana telah usai, maka sholat tetap dilanjutkan sampai selesai.
 
TATA CARA SHOLAT GERHANA
Sholat gerhana memiliki banyak riwayat terkait tata caranya, namun yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan Ibunda ‘Aisyah radliyallahu ‘anha di dalam As Shahihain.
Tata cara sholat gerhana Rasulullah diceritakan oleh Ibunda Aisyah sebagai berikut :
خسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا هُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ .... ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ النَّاسَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلَاةِ وَقَالَ أَيْضًا فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ
“Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun keluar menuju masjid dan berdiri lantas bertakbir (menunaikan shalat), sehingga orang-orang pun ikut membentuk shaf di belakangnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca dengan bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dengan ruku' yang panjang. Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya membaca: "sami'allahu liman hamidah rabbanaa wa lakalhamdu (Allah Maha Mendengar siapa saja yang memuji-Nya)." Kemudian beliau berdiri dan membaca dengan bacaan yang panjang, namun lebih pendek dari bacaan yang pertama. Setelah itu, beliau bertakbir lalu ruku' dengan ruku' yang panjang, namun lebih pendek dari ruku' yang pertama. Setelah itu, beliau membaca: "sami'allahu liman hamidah rabbanaa wa lakalhamdu." Kemudian beliau sujud. ..... Kemudian pada raka'at berikutnya, beliau berbuat seperti itu hingga sempurnalah shalatnya terdiri dari empat ruku' dan empat sujud. Sesudah itu, matahari pun kembali bersinar sebelum beliau beranjak bubar. Beliau kemudian berdiri dan menyampaikan khutbah kepada orang banyak. Beliau memuji Allah dengan pujian yang hak atas-Nya, kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) dari ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana pada keduanya karena kematian atau pun kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, bersegeralah untuk menunaikan shalat." dan beliau juga bersabda: "Maka shalatlah kalian hingga Allah menampakkannya kembali pada kalian."
(Riwayat Al Bukhari 1046, Muslim 901)

Berdasarkan riwayat di atas dan selainnya, dapat dirinci tata cara sholat gerhana beliau sebagai berikut:
1.    Bertakbir diiringi niat dalam hati, kemudian membaca iftitah dan ta'awudz, membaca surat Al Fatihah dilanjutkan membaca surat yang cukup panjang. Dalam riwayat Ibnu Abbas panjang bacaan Rasulullah seperti bacaan surat Al Baqarah.
2.    Ruku’ dengan ruku’ yang panjang
3.    Bangkit dari ruku’ seraya mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa walakalhamdu’, namun tidak diteruskan sujud tapi dilanjutkan membaca Al Fatihah lagi dan membaca surat yang panjang, namun tidak sepanjang surat sebelumnya.
4.    Ruku’ untuk kedua kalinya dengan ruku’ yang panjang namun tidak sepanjang ruku’ sebelumnya.
5.    Bangkit dari ruku’ seraya mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa walakalhamdu’
6.    Sujud dua kali sebagaimana biasa namun dengan sujud yang panjang.
7.    Bangkit dari sujud menuju rakaat kedua dan melaksanakannya sebagaimana rakaat pertama (poin 1 – 6).
8.    Duduk Tasyahud kemudian salam.
 
BACAAN SURAT KERAS ATAU LIRIH?
Para ulama menguatkan bahwa bacaan surat pada sholat kusuf dikeraskan (jahr) baik pada gerhana bulan atau gerhana matahari. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibunda Aisyah radliyallahu ‘anha:
جَهَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَتِهِ كَبَّرَ فَرَكَعَ
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana. Jika selesai dari bacaan Beliau membaca takbir kemudian ruku'...(Al Bukhari 1065)
 
CATATAN :
1.    Apabila gerhana tidak terlihat seperti misalnya tertutup mendung, maka tidak disyariatkan untuk sholat. Sebab Nabi bersabda:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا
“Apabila kalian melihat keduanya (gerhana bulan atau matahari)...”
Ini menjadi dalil bahwa sholat gerhana tidak disyariatkan kecuali jika gerhana tersebut terlihat oleh penglihatan mata.
2.    Sholat Gerhana tidak memiliki adzan dan iqamah. Untuk menyeru manusia kepada pelaksanaan sholat ini adalah dengan ucapan
 
الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
“Ash Sholaatu Jaami’ah”
3.    Sholat gerhana sangat dianjurkan dikerjakan secara berjamaah di masjid, karena Rasulullah mengerjakannya secara berjamaah bersama para sahabat. Apabila terhalang untuk menghadiri jamaah, maka dapat dilakukan sendiri. Wallahu A’lam
4.    Wanita tidak dilarang untuk keluar mendatangi sholat gerhana berjamaah di masjid.
5.    Selain sholat, dianjurkan pula saat gerhana memperbanyak doa, bersedekah, memohon perlindungan dari adzab kubur, istighfar dan dzikir yang lain. Hal ini berdasarkan riwayat-riwayat yang tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
6.    Para ulama berbeda pendapat mengenai pensyariatan khutbah sholat gerhana. Imam yang tiga yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat tidak disyariatkan khutbah padanya.
Adapun Imam Syafi’i, Ishaq dan banyak Ahli Hadits berpendapat sunnahnya khutbah setelah sholat gerhana. Hal ini karena Nabi berkhutbah pada manusia setelah sholat gerhana. Beliau memberi nasehat, peringatan dan penjelasan syubhat terkait penyebab gerhana.
Pada masa jahiliyyah, orang-orang beranggapan  gerhana terjadi karena kelahiran atau kematian seseorang yang besar atau agung. Maka Rasulullah membatalkan keyakinan ini.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ
Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka shalat dan berdoalah kalian kepada Allah”
 
Washallallahu ‘alaa nabiyyinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi washahbihii wasallam.
 
Maraji’ :
1.    Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al  Bassam
2.    Tamaamul Minnah fi Fiqhil kitab wa shohihi as sunnah, Syaikh Adil bin Yusuf Al ‘Azzaaziy
3.    Syarh Umdatul Fiqh, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © 2015 Simple SEO ✔